Rabu, 27 Maret 2013

SejaraH PMII Lokal


KILAS BALIK SEJARAH PMII
(Al-Muhafadhatu ‘ala Qadim al-Shalih wa al-Ijad bi al-Jadid al-Ashlah)
PMII adalah bagian dari sejarah Indonesia. Mulai dari awal proses kemunculannya, proses lahirnya sampai proses perjalanannya hingga sekarang, PMII telah menjadi saksi dari sejarah perjalanan Indonesia.
Selain itu, PMII juga sejarah bagi dirinya sendiri. PMII pernah jaya dan pernah terpuruk. PMII pernah bersitegang akibat perdebatan tentang politik praksis dan PMII pernah ditendang dari wilayah strategis. Semua itu bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan PMII.
Dalam proses pemunculannya, PMII tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial politik tahun 1950-an. Ketika itu, telah muncul organisasi-organisasi kepemudaan seperti HMI (ketika itu underbow Masyumi) SEMMI (dengan PSII) KMI (dengan PERTI) IMM (dengan Muhammadiyah) dan HIMMA (dengan Wasillah).
Banyaknya organisasi tersebut, membuat anak-anak NU ingin mendirikan wadah yang bernaung di bawah panji bola dunia. Akhirnya, pada tahun 1955 di dirikanlah IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) oleh tokoh-tokoh PP-IPNU. Namun, IMANU tidak berumur panjang. Sebab, PBNU tidak merestui dengan alasan yang sangat logis: “IPNU didirikan baru tanggal 24 Februari 1954 dan dengan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi”.
Tetapi sampai pada Kongres IPNU ke 2 (Awal 1957 di pekalongan)dan ke 3 (akhir 1958 di Cirebon) NU masih memandang belum perlu adanya organisasi kemahasiswaan. Baru kemudian pada tahun 1959 IPNU membuat departemen yang kemudian dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Satu tahun kemudian setelah Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini dianggap tidak efektif dan tidak cukup menampung aspirasi mahasiswa NU, maka pada Konprensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960) di Kaliurang sepakat mendirikan organisasi tersendiri.
Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di TPP Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Tidak berselang lama, tahun 1961 PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang menghasilkan deklarasi Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam percaturan nasional. Tahun 1963 kongres ke-2 PMII digelar di Yogyakarta. Kongres ini menegaskan kembali esensi Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII mengadakan TC II di Megamendung, Bogor untuk menyikapi problem kehidupan masyarakat dan negara.
Pada masa ini, terjadi gejolak yang mempengaruhi situasi nasional. Mahasiswa menyikapinya dengan berbagai aksi dengan berbagai organ taktis seperti KAMI dan KAPPI. Dalam proses ini, PMII mengambil tempat terdepan. Bahkan, Ketua Umum PB PMII, Zamroni menjadi ketua KAMI/KAPPI dari awal sampai akhir berdirinya.
Dalam perjalanan selanjutnya, PMII merasa tidak strategis dan mengalami keterbatasan langkah di bawah naungan NU –ketika itu berfusi ke PPP. Maka pada tahun 1972, PMII mendeklarasikan Independensi dari NU dalam ajang Munas di Murnajati. Deklarasi ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Adapun tim perumus Deklarasi Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung), Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung), Choirunnisa’ Yafizhan (medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman indrus dan Muiz Kabri (Malang).
Kiprah PMII pasca independen tidak banyak terekam, karena minimnya dokumen, termasuk posisi PMII ketika kasus Malari. Tetapi yang jelas, ketika rezim orde baru berkuasa, PMII dipinggirkan dan dibatasi perannya. Kemudian, PMII berusaha mengambil langkah-langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya. Baru tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan merevisi pola hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi. Deklarasi Interdependensi terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta, tahun 1991. Setelah itu, PMII terlibat dengan berbagai gerakan, termasuk gerakan Reformasi tahun 1998 dengan terang-terangan atau masuk ke dalam organ-organ gerakan taktis.
Kumpulan serpihan sejarah PMII menjadi penting sebagai cermin bagi kita untuk mengayunkan langkah ke arah yang lebih baik. Sehingga, kader PMII tidak mengalami disorientasi dan kegagapan dalam menghadapi perubahan. Apalagi, tradisi dokumentasi dirasakan sangat minim di PMII. Dalam buku-buku sejarah gerakan mahasiswapun, PMII jarang disebut. Disamping itu, para founding fathers PMII, satu per satu meninggal dunia, seperti Mahbub Junaidi, Zamroni dll.

REFLEKSI NASIONALISME DALAM MENGHADAPI
GLOBALISASI
Indonesia adalah negara demokrasi sepenuhnya yang baru saja naik kepermukaan, karena adanya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat pada tanggal 21 Mei 1998 akibat ulah dari mantan Presiden Soeharto dan antek-anteknya yang menguasai kekuasaan kurang lebih selama 32 tahun lamanya. Sebagai negara demokrasi Indonesia juga negara yang kaya akan alam yang sangat malimpah sekali karena Indonesia terletak didaerah yang sangat strategis (daerah khatulistiwa).
Di zaman yang serba modern ini banyak sekali perbedaan antar rasa kebangsaan sekarang dengan yang dahulu, rasa kebangsaan yang tertanam disaat masa panjajahan kolonial Belanda bagitu kental dan kelihatan, dibandingkan dengan sekarang yang sangat jauh sekali. Kita melihat apa yang telah dilakukan oleh beberapa panglima perang diwaktu itu, seperti Pangeran Diponegoro, Jendral Soedirman, dan lain sebagainya yang telah memberikan semangat perjuangan kepada masyarakat untuk melawan para penjajah.
Sebenarnya nasionalisme cenderung menunjukkan diri sebagai prinsip yang nyata, dan terbukti dengan sendirinya dapat dipahami oleh semua manusia, dan dilanggar oleh ketidaktahuan ketika nasionalisme ternyata memperoleh sifat masuk akal dan kekuatannya hanya dari kondisi-kondisi sangat khusus yang baru diperoleh saat ini, namun sangat asing bagi umat manusia dan sejarah.
Tema utama pembahasan ini adalah bahwa nasionalisme, dalam pelbagai ragamnya dan negara bangsa yang berlandaskan padanya benar-benar berssifat modern, bahkan dalam banyak contoh berkaitan dengan kekhasan etnis atau negara politik yang barangkali sama tuanya dengan sejarah. Dengan kata lain meskipun kaum nasionalisme sudah bisa kembali kemasa lalu dengan merentang perjalanan waktu untuk melegitimasi klaim-klaim yang mereka buat demi bangsa “mereka” “nasionalisme” sebagai ideologi yang menentukan hubungan individu dengan negara dan melegitimasi apa yang dilakukan negara demi warganya tak bisa dijelaskan begitu saja sebelum “zaman modern” .
Indonesia mungkin saat ini boleh dikata sebagai negara yang miskin, karena di era yang sudah maju, indonesia belum bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan yang sudah mayoritas pada masyarakat diberbagai daerah. Mungkin ini kita kembali kepada bentuk pemerintahan yang sudah bobrok atau dalam arti orang-orang pemerintahan yang masih saja menggunakan budaya korupsi. Hal inilah yang sangat merepotkan pemerintahan (presiden) untuk lebih maju kedepan.
Ada beberapa sektor yang mungkin perlu dikaji atau dibahas karena dari sektor-sektor itulah mungkin bisa lebih lagi untuk di tinjau ulang atau dievaluasi, seperti sektor ekonnomi, industri, pertahanan dan keamanan, dan sektor yang lainnya.
Dalam hal ini bangsa Indonesia masih juga dihadapkan berbagai benturan dari luar, salah satunya adalah perdagangan bebas atau globalisasi yang sudah merajalela diberbagai negara-negara maju seperti Jepang, China, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan lain sebagainya. Tetapi Indonesia dilihat dari berbagai ideologi dan aturan globalisasi ekonomi termasuk perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi, dan penyesuaian struktural, ini malahan telah menghancurkan penghidupan berjuta-juta orang, banyak sekali pengangguran karena kehilangan lapangan pekerjaan. Bahkan, tak sedikit dari mereka menjadi gelandangan, tidak mempunyai tanah, dan hidup dalam gelimang kelaparan.
Pergaulan global sudah tidak lagi dapat dihindari oleh seseorang, kecuali ia sengaja mengungkung diri dengan cara menjauhi interaksi dan komunikasi dengan yang lain. Istilah globalisasi yang sangat populer itu dapat berarti sebagai alat atau juga sebuah ideologi. Alat, oleh karena merupakan wujud dari keberhasilan ilmu-ilmu tekhnologi, terutama sekali dibidang komunikasi. Ketika globalisasi berarti alat, maka globalisasi sangat netral. Artinya, ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal yang positif, ketika dimanfaatkan dengan tujuan yang baik. Sebaliknya ia juga berakiabat negatif, ketika hanyut kedalam hal-hal yang negatif. Dengan demikian globalisasi sangat tergantung kepada siapa yang menggunakannya dan untuk keperluan apa serta tujuan kemana ia dipergunakana. Jadi, sebagai alat dapat bermanfaat dan dapat pula berbahaya. Sedangkan ketika globalisasi sebagai ideologi, sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang.
Robert Wade dari London School Of Economic dalam The Economist (2001), menulis:”ketimpangan global dengan cepatnya menjadi kian memburuk …..perubahan tekhnologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan pesatnya peningkatan jumlah rumah tangga secara tidak proporsional pada tingkatan yang sangat kaya di satu sisi, tanpa berpengaruh pada penyusutan jumlah rumah tangga miskin di sisi lain ….dari 1988-1993 ,bagian pendapatan dunia yang diterima oleh 10 % penduduk termiskin dari penduduk dunia menyusut dari seperempatnya, sementara bagian yang diterima oleh 10% penduduk terkaya meningkat 8%.”
Mengapa di Indonesia seakan-akan tidak ada orang yang peduli dengan masalah globalisasi? Pertanyaan ini tidak begitu saja dijawab karena ada begitu banyak faktor yang bermain. Salah satu sebabnya mungkin ada pada orang-orangnya. Mengapa pakar-pakar kita (terutama ekonomi) acuh tak acuh terhadap globalisasi ekonomi atau neoliberalisme, adalah karena mereka tidak tersentuh oleh masalah-masalah itu. Sementara orang-orang berpendapat bahwa tidak pekanya pakar terhadap prektek negatif globalisasi, karena mereka datang dari kelas menangah yang sudah mmenikmati hidup, setelah mendaapat gelar mungkin mereka meniti karir menjadi konsultan perusahaan, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk mengkritik apa yang telah mereka nikmati.
Secara umum, memang dapat diamati bagaimana seluruh dunia pada saat ini sedang dicengkeram oleh sebuah hegemoni ideologi. Dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan, ada pandangan yang secara merata disetujui oleh para elit disemua negara (pemimpin pemerintahan, anggota dewan perwakilan rakyat, politisi, pengusaha, para menejer, dan akademisi) bahwa free market merupakan satu-satunya solusi bagi ekonomi. Lebih dahsyat lagi hegemoni ideologi neoliberal ini mendapat dukungan kelompok intelektual dan wartawan. Dengan akibat tanpa terasa itu memang ciri khas hegemoni orang-orang yang tidak kritis secara perlahan dibuat tidak setuju dengan pandangan itu. (Gill dan Law, 1989, Biersteker, 1997).

Globalisasi mungkin adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Yang harus dilakukan adalah respon, bukan lari menjauh. Respon tersebut bukan hanya defensif, namun juga harus berani ofensif. Ketika kita berbicara globalisasi, kita perlu contoh kongkrit dalam praktek globalisassi. Oleh karena itu perlu dikemukakan contoh tersebut, contoh kongkritnya adalah pelaksanaan AFTA, yang dinyatakan mulai berjalan tahun 2003 ini. Namun hal yang tidak dapat kita lupakan adalah bahwa untuk mengarungi kompetisi global maka diperlukan kesiapan yang handal pula.
Pokok masalah
Dalam hal ini yang menjadi pokok inti permasalahan adalah
mampukah indonesia menghadapi globalisasi yang timbul karena adanya tekanan dari usia zaman yang selalu maju dari zaman ke zaman
sektor apa saja yang menjadi pokok untuk menghadapi globalisasi
persiapan apa dan bagaimana untuk menghadapi globalisasi
Pembahasan
Globalisasi adalah pengglobalan seluruh aspek kehidupan; (perwujudan perombaan/peningkatan/perubahan) secara menyeluruh disegala aspek kehidupan. Kalau kita mempersoalkan negara dan nasiaonalaisme di Indonesia maka kita harus melihat perkembanagan pemikiran ini di Eropa. Karena konsep negara dan nasionalisme disini sepenuhnya merupakan adopsi atau jiplakan dari Eropa.
Pertama, perkembangan nasionalisme dan paham tentang negara di Eropa di awali dengan munculnya individualisme. Bibit individulisme muncul pada abad ke-15 ketika ditemukan mesin cetak yang disusul dengan reformsi kristen dan pada akhir abad ke-16 muncul Descartes (1596-1650) yang betul-betul menawarkan revolusi yang luar biasa dalam pemikiran. Dan itulah biji pertama dari modernisme, yakni bahwa segala sesuatu hanya akan diterima sejauh dia itu jelas dan benar menurut rasio.
Rasionalisme semacam ini sepertinya hanya sepercik pikiran saja. Namun dalam sejarah dunia, Descartes itu tetap dianggap sebagai awal penyangga kelahiran indvidu di Eropa dan seluruh dunia.karena dengan formulasinya itulah kemudian ada pengertian individu dalam kelompok dan individu dalam negara-bangsa.
Pada pertengahan abad ke-17, yaitu tahun 1655 ada perjanjian westphalia perjanjian ini membagi Eropa berdasarkan agama: Jerman yang protestan di satu sisi dan di sisi lain ada Prancis dan Italia yang katolik. Jadi pengertian negara yang awal, yang dikenal dalam sistem dunia yang sekarang itu berawal dari tahun 1655 bukannya abad ke-19 yang sekarang kita kenal ini. Dengan demikian, nasionalisme itu awalnya berasal dari kelahiran individualisme.
Kedua, selain karena individualisme, nasionalisme lahir juga karena adanya temuan-temuan tekhnologi, misalnya dengan berhasil dibukanya terusan suez. Pembukaan terusan ini menyebabkan kapal-kapal dari Eropa yang semula harus memutar melewati Afrika selatan, bisa langsung tembus lewat terusan itu. Dari situ manusia melihat bahwa dunia tdak datar (flat) seperti dibayangkan semula, melainkan bundar.
Pasar Bebas ( Liberalisasi Perdagangan)
Bicara pasar bebas, biasanya akan selalu berangkat dari teori Adam Smith (1723-1790). Inti dari pasar bebas adalah bahwa setiap individu diberi hak uttuk mengejar kepentingannya (interest). Namun dalam pelaksanaan mengejar kepentingan individu itu harus ada aturan main , yaitu ia tidak boleh melanggar hak dan kepentingan individu yang lain. Jadi demi memenuhi kepentingan seseorang, tidak boleh ia merampas kepentingan orang lain. Disini maka harus ada permainan yang fair, termasuk juga harus ada kepatuhan terhadap aturan / perundangan (a stable legal framework).
Dalam konsep ekonominya, yang merupakan mesin pertumbuhan ekonomi adalah (1) the devision of labor (pembagian kerja), (2) accumulation of capital (akumulasi modal), (3) technological progres (kemajuan tekhnologi). Itulah yang Smith uraikan dan teorikan secara detail dalam bukunya, the wealth of nations. Tiga ciri itu juga sekaligus ciri paham ekonomi kapitalisme.
Dalam rangka mengejar kepentingan individu tersebut tidak ada batasan wilayah, dan dalam waktu bersamaan juga tidak dikehendaki adanya campur tangan lebih besar dari pemerintah. Individu lebih menentukan gerak dan corak perdagangannya (perekonomiannya). Menurut paham ini keberadaan negara tidak boleh untuk memperkecil, apalagi merampas hak individu dalam praktek perdagangan, namun negara itu berdiri justru dalam rangka menjaga hak-hak tiap individu tersebut. Artinya negara harus kuat menegakkan ketentuan hukum yang berlaku dalam rangka menjaga kebebasan individu untuk perdagangan bebas tersebut
Dalam praktek, tidak semua negara membuka perdagangan bebas dengan negara lain. Kita sering menyaksikan bahwa suatu negara memberi proteksi terhadap produk dalam negerinya. Atau bahkan lebih serius lagi, suatu pemerintah memberikan proteksi terhadap perusahaan tertentu. Sememntara itu biaya masuk (bea cukai dan lai-lain) produk-produk luar negri sangat mahal, sehingga jatuhnya harga barang impor tersebut setelah masuk didalam negeri menjadi sangat mahal, jauh dari harga dasar produk tersebut ketika masih berada di negara yang memproduksi.
Mempersiapkan SDM Untuk Mengarungi Era Globalisasi
Sudah barang tentu kalau kita berbicara tentang SDM dimasa sekarang ini, kita perlu mempertimbangkan keadaan masa lalu tentang kemajuan yang telah dimiliki oleh masyarakat. Bukan untuk pelipur hati yang menderita kemunduran, namun untuk meyakinkan diri dalam rangka memacu kemajuan yang pasti bisa dilakukan. Ini berarti untuk menjadikan masyarakat menjadi maju kembali, haruslah mau dan mampu meraih kembali kemajuan tekhnologi serta yang lain yang telah di hasilkan oleh para sarjana.
Tambahan lagi dalam era globalisasi yang merupakan produk kemajuan tekhnologi maka peningkatan kualitas SDM untuk memacu kemajuan harus mendapatkan prioritas. Era globalisasi ialah era informasi bebas sebagai hasil ilmu dan tekhnologi yang merupakan era yang sarat dengan kompetisi, bahkan akan mempunyai resiko yang tinggi. Resiko yang tinggi ini, oleh karena akan adanya gesekan yang mengakibatkan kalah menang dalam pertarungan nilai, material, budaya , dan hal-hal yang lainnya. Kalau terjadinya globalisasi akibat karya yang hebat tangan –tangan SDM yang berkualitas, maka untuk menghadapinya tentu juga tidak bisa lepas dari perhatian akan kualitas SDM itu sendiri.
Diera globalisasi inilah kompetisi prestasi sangat dituntut, sehingga tanpa mempersiapkan SDM yang berkualitas dengan kemajuan ilmu tekhnologi maka masyarakat akan tergilas sendiri. Perlu kita ingat bahwa bangsa yang hanya mampu membanggakan masa lalu adalah bangsa yang kalah dan hidup dalam khayalan. Sedangkan sejarah tersebut untuk menghidupkan kembali semangat merebut ilmu dan tekhnologi itu , dalam hal ini tidak akan terwujud kecuali kalau SDM-nya berkualitas.
Karekteristik Umum Negara Berkembang.
Ada beberapa karekteristik umum tentang negara berkembang, yang bisa digunakan untuk kebenaran dan validitasnya, secara singkat dan sederhana ciri-ciri umum tersebut dapat diklasifikasikan antara laain:
Standar hidup yang relatif rendah, sebagai akibat dari tingkat pendapaatan yang rendah, ketimpangan pendapatan yang parah, kurang memadainya pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan.
Tingkat produktifitas yang rendah.
Tingkat pertumbuhan penduduk serta beban ketergantungan yang tinggi.
Angka pengangguran, terbuka maupun terselubung, yang sangat tinggi dan akan terus bertambah lagi, sementara penyediaan lapangan tenaga kerja semakin terbatas.
Ketergantungan pendapatan yang sangat besar kepada produksi sektor pertanian serta ekspor produk-produk primer (bahan-bahan mentah) Pasarnya tidak sempurna, dan informasi tersediapun sangat terbatas.
Dominasi, ketergantungan, dan kerapuhan yang parah pada hampir semua aspek hubungan internasional.
Mungkin dari sinilah seluruh sektor harus di benahi, karena dari beberapa ciri tesebut diatas tidak ada kemajuan kalau tidak ada perbaikan atau pembangunan yang bisa untuk lebih maju kedepan. Seperti persiapan SDM, pemanfaatan SDA, menciptakan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya.
Kesimpulan dan Saran
Sebagai negara yang telah merasakan segala bentuk keterpurukan akibat hempasan gelombang globalisasi, indonesia bisa menjadi labolatorium-kegagalan atau kawah-candradimuka. Indonesia akan menjadi labolatorium kegagalan bagi usaha memakmurkan bangsa, apabila globalisasai dengan ideologi neoliberalismenya dibiarkan, atau malah dibantu merajalela oleh kaum intelektual dan praktisi ekonomi politiknya. Kebalikannya indonesia akan berfungsi sebagai kawah candradimuka lahirnya gagasan besar dan inisiatif tandingan yang sahih, apabila pakar dan pelaku ekonominya mengkritisi globalisasi dengan kencang seraya mengembangkan model-model pemecahan ekonomi sosial politik yang betul-betul memerdekakan dan menyejahterakan rakyat.
Ciri utama globalisasi adalah kompetisi. Ketika kita berbicara mengenai kompetisi global, seharusnya kita dalam kondisi yang sangat prima, namun kita dalam kondisi krisis multidimensional. Ibarat mau tinju, lawan tinju begitu hebatnya, sedangkan dalam kondisi sakit. Kalau bangsa kita lemah maka kita akan tergilas dengan globalisasi ini. Globalisasi merupakan tantangan, maka kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan tersebut. Maka solusinya adalah persiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas agar mampu untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Ternyata indonesia belum siap akan adanya globalisasi, karena indonesia sendiri belum bisa keluar dari kemelut yang ada atau masih terikat dengan hutang luar negri yang semakin lama semakin banyak karena suku bunganya.
Dengan hal ini mungkin kita perlu belajar lagi agar kita selalu siap untuk menghadapi globlisasi yang selalu mengikuti zaman




0 komentar :